Kedudukan Syara' Qablana Sebagai Dalil Hukum - DUNIA MAHASISWA INDONESIA
Home » » Kedudukan Syara' Qablana Sebagai Dalil Hukum

1 Kedudukan Syara' Qablana Sebagai Dalil Hukum

TUGAS MANDIRI
MAKALAH USHUL FIQH
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
USHUL FIQH  ABAD KE 5 H
 








Disusun oleh :
NAMA         : WARISNO
NPM            : 1179578
JURUSAN  : SYARIAH
PRODI        : PERBANKAN SYARIAH
KELAS        : D

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
TAHUN AJARAN 2012/2013



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah........................................................................................ 1
1.2.Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
1.3.Metode Penelitian................................................................................................. 2
1.4.Tujuan Penulisan Makalah.................................................................................... 2
BAB I I PEMBABAHASAN
2.1.Pengertian Syar’u Man Qablana............................................................................ 3
2.2.Kedudukan Syar’u Man Qablana........................................................................ 4
2.3. Pembagian Syar’u Man Qablana......................................................................... 6
2.4.Sandaran Syari’at Rasulullah Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)     4
2.5.Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana............................................ 9
      BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan .......................................................................................................... 11
CATATAN KAKI
DAFTAR PUSTAKA

        



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      LATAR BELAKANG MASALAH
Mempelajari ilmu ushul fiqh mempunyai manfaat yang sangat urgen, terutama untuk dapat menjabarkan, memahami dan mentranformasikan maksud nash-nash syariah kedalam suatu format hukum syariat agar sesuai dengan tujuan syari’ (المصالح التي استهدفها الشارع الحكيم).  Ilmu ushul fiqh adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai para imam mujtahid untuk menggali dan menetapkan hukum syar’I dari nash. Artinya ilmu ushul fiqh merupakan kajian metodologis untuk mengambil dan menggeneralisasikan suatu illat dari nash serta cara yang paling tepat untuk penetapannya. Dalam arti lain, ushul fiqh adalah untuk menjembatani antara nushusu syariah yang terbatas dan kejadian-kejadian actual yang tidak terbatas (An-Nushus mutanaahiyah wal waqa’I gahiru mutanaahiyah). Hal ini dimaksudkan agar Al-qur’an dan Hadis dapat melebar (menjawab problematika umat) maka dibuatlah sebuah metodologi.
Dalam literatur ilmu ushul fiqh salah satu permasalahan yang dikaji adalah Metode Syar’u man Qablana (syariat para nabi sebelum Muhammad). Meskipun kepopulerannya setingkat lebih bawah dari pembahasan metode ijma’, istihsan, maslahah mursalah, namun metode ini tak luput juga dari pembahasan dan perdebatan para ulama ushul. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa uraian penting seputar problem Metode Syar’u man Qablana. Uraian akan dijabarkan dalam 2 bahasan:
Pembahasan pertama    :  hakekat metode syar’u man Qablana (ماهية أصل شرع من قبلنا).
Pembahasan kedua    : Tingkat keautentikan kedudukan / kehujjahan syar’u man Qablana dalam hukum islam (مدى حجية شرع من قبلنا في الشريعة الإسلامية)


1.2.      RUMUSAN MASALAH
Dalam hal ini penulis berusaha membahas beberapa masalah yakni sebagai berikut :
1.  Apa yang dimaksud Syar’u Man Qablana?
2.  Apa Kedudukan Syar’u Man Qablana?
3.  Apa saja Pembagian Syar’u Man Qablana?
4.  Sandaran Syari’at Rasulullah Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)
5.  Bagaimana pendapat ulama tentang syar’u Man Qablana?

1. 3. Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode library research yaitu mengambil dan menelaah buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dibahas sebagai bahan acuan untuk mempermudah proses pembuatan makalah ini.

1. 4. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1)    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana.
2)    Kita bisa mengetahui pembagian dari Syar’u Man Qablana
3)    Agar kita tahu hukum Syaar’u Man Qablana
4)    Untuk mengetahui apa pendapat ulama tentang syar’u Man Qablana
5)    Untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Ushul Fiqh.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Pengertian Syar’u man Qablana
 Ada beberapa pengertian tentang syar’u man qablana, diantaranya ;
·         Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.[1]
·         Syar ‘u man qablana ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.[2]
·         “Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara‟ yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”[3]
·         Syar’u man qablana atau syari’at sebelum kita maksudnya adalah “hokum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu”[4]

Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.[5]
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.[6]



2.2. Kedudukan Syar’u Man Qablana
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura : 13
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.[7]
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.[8]

2.3. Pembagian Syar’u Man Qablana
a.   Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at kita (dimansukh)
Jika Alqur’an dan Hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat terdahulu kemudian datang dalil nash  yang membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum itu bukanlah syari’at kita karena sudah ada yang membatalkannya. Misalnya, syari’at keharusan bunuh diri bagi orang yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman Nabi Musa.
Dan syarat keharusan memotong kain yang terkena najis sebagai syarat menyucikan pakaian/kain itu sendiri di zaman Nabi Musa. Kedua kasus ini hukumnya telah dibatalkan dengan firman Allah surat Hud : 3.
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya”
Dan dalam surat Al-Mudatstsir :4
“.......dan pakaianmu bersihkanlah”

b. Ajaran yang disyari’atkan oleh  kita
Bila Al-Qur’an atau hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat sebelum Islam, lalu Al-Qur’an dan hadis itu menetapkan bahwa hukum itu wajib pula kepada umat Islam untuk mengerjakannya, tidak diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at yang harus ditaati umat Islam.[9] Misalnya kewajiban berpuasa, kewajiban ini telah diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Kemudian setelah datang agama Islam, syari’at semacam itu diwajibkan lagi bagi orang Islam, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah : 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

c. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
a)      Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b)      Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.[10]

Untuk hal ini ada dua pendapat, yaitu;[11]
·      Pendapat pertama, menyatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah saw. dan umatnya.
·     Pendapat kedua bila hukum yang diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana diwajibkan juga bagi mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan.

Dengan perbedaan pendapat di atas, maka ada hal yang disepakati ulama :
·      Hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam.
·      Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak bisa berlaku lagi bagi kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging bagi Bani Israil.
·     Segala yang ditetapkan dengan nash yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan karena ditetapkannya  bagi umat yang telah lalu. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukum qishash dan puasa yang ada dalam Alquran.

2.4. Sandaran Syari’at Rasulullah Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)
a.   Keterikatan Rasulullah Sebelum Diutus Menjadi Rasul
Keterikatan Rasulullah sebelum diutus menjadi Rasul terhadap syari’at Islam, terjadi perbedaan pendapat. Para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika Nabi SAW, terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya.[12]
Sedangkan setelah ditelusuri tidak ada dalil yang menegaskan bahwa beliau terikat dengan syari’at sebelum Islam. Sedangkan ulama Hanafiyah, Hanabillah, Ibn al-Hajib mengatakan bahwa Rasulullah sebelum diangkat menjadi Rasul terikat dengan syari’at sebelum Islam, karena ada beberapa alasan yang menyatakannya ;
  • Setiap Rasul Allah diseru untuk mengikuti syari’at rasul-rasul sebelumnya.
  • Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi SAW. Sebelum menjadi Rasul telah melakukan perbuatan/amalan tertentu yang sumbernya bukan dari akal semata, seperti pelaksanaan shalat, haji, umrah,mengagungkan ka’bah dan thawaf disekelilingnya serta menyembelih binatang. Hal tersebut berdasarkan firman Allah surat al-An’am:90[13]
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikitilah petunjuk itu”

b.   Keterikatan Rasulullah Setelah Diangkat  Menjadi Rasul
keterikatan Rasulullah dan umatnya terhadap syari’at sebelum Islam ketika telah diangkat menjadi Rasul. Para ulama berpendapat bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak membatalkannya. Sedangkan syari’at sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya. Kecuali yang ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Namun untuk hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur’an, tetapi tidak ditegaskan berlakunya untuk umat Muhammad SAW., tetapi diketahui secara pasti bahwa hukum itu berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak ada pembatalan dalam al-Qur’an dan Sunnah, terjadi perbedaan pendapat diantaranya;[14]
1.    Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa jika hukum syari’at sebelum Islam itu disampaikan pada Nabi SAW. Melalui wahyu al-Qur’an bukan melalui kitab agama mereka yang telah diubah, maka umat Islam terikat dengan hukum tersebut. Alasannya syari’at sebelum Islam juga merupakan syari’at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syari’at, seperti yang tercantum dalam surat an-Nahl ayat 123 :
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ikutilah agama Ibrahim yang hanif.”
      Kemudian hadis Rasulullah yang artinya: “siapa yang tertidur dan lupa untuk sholat, maka kerjakanlah sholat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian Rasulullah membacakan ayat; “kerjakanlah sholat itu untuk mengingat-Ku” (HR. Bukhari, Muslim Tirmidzi, Nasa’I dan Abu Daud).
2.  Ulama Asy’arriyah, Mu’tazilah dan Syi’ah dan sebagian ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa syari’at sebelum Islam tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya, alasannya;
·         Pertama ketika Rasul SAW. Mengutus Mu’az bin Jabal untuk menjadi qadi di Yaman, Rasul bertanya; “bagaimana engkau menetapkan hukum, Mu’az menjawab: ”dengan Kitabullah, jika tidak ada dalam kitabullah, dengan sunnah Rasulullah SAW. Dan apabila tidak ada juga, maka saya akan berijtihad. Nabi SAW. Memuji sikap Mu’az tersebut.
·         Kedua, firman Allah dalam surat al- Maidah ayat 48 yang artinya: “untuk tiap-tiap umat diantara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang”
·         Ketiga, syari’at Islam merupakan Syari’at yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan syari’at sebelum Islam hanya berlaku bagi umat tertentu, seperti sabda Rasul SAW. Yang artinya: “para Nabi diutus khusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh umat manusia” (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).
Dalam hal ini Abdul Hamid Hakim mengutip perkataan Imam Al-Syaukani, yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa pendapat :[15]
·Bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Adam as. karena syariat itu merupakan syariat yang pertama.
·Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariat Nabi Nuh as.
·Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariatnya nabi Ibrahim as.
·Ada pula yang menyatakan Rasulullah beribadah dengan syariat Nabi Musa as.
·Dan yang menyatakan Rasulullah bersyariat kepada syariat Isa as. karena Nabi yang paling dekat dengan Rasulullah saw.
Bahkan ada yang berpendapat, bahwa Rasulullah saw. sebelum diutus tidak beribadah atas syariat, menurutnya, karena kalaulah berada pada satu agama tentu Nabi menjelaskannya dan tidak menyembunyikannya. Ibnu Qusyairi berkata, bahwa semua perkataan itu berlawanan dan tidak ada dalil yang qath’i.  
Imam Al-Syaukani mengembalikan kepada perkataan yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Ibrahim as. Menurutnya, karena Rasulullah sering mencari dari syariat Ibrahim as., beramal dengan apa yang sampai kepadanya dari syariat Ibrahim, dan juga seperti yang diketahui dari ayat Alqur‟an setelah beliau diutus untuk mengikuti Millah Ibrahim as.

2.5. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para ulama Ushul Fiqh sepakat, bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam Al-Qur’qn adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya kewajiban untuk berpuasa dibulan Ramadhan.
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islamdan tidak pula ada penjelasan yang membatalkanya.
Misalnya, persoalan hukuman qishash (hukuman setimpal) dalam syariat Nabi Musa yang diceritakan dalam Al-Qur’an ayat 45 Surat al-Maidah:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At-Turat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutus-kan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah/5:45)
Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal, hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Islam.
Alasannya:
1. Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga. Oleh karena itu, apa yang disyariatkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW.
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain:
“ Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibarahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123)
Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Qur’an,tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW. kecuali ada ketegasan untuk itu. Diantara alas an mereka terdapat dalam Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 48.
Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh menjelaskan, bahwa yang terkuat dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama diatas. Alasannya, bahwa syariat Islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh karena itu, segala hukum-hukumsyariat para nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Qur’an tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah dinasakh (dihapuskan), maka hukum-hukum itu berlaku bagi umat Nabi Mumammad SAW.


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut;
1.      Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.
2.      Dan dapat dipahami juga bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.
3.      Pada prinsipnya, syari’at yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
4.      a.   Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
b.   Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
Contoh : Perintah menjalankan puasa.
c.   Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.
a) Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b) Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.
5.      Sandaran Syari’at Rasulullah Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)
a. Keterikatan Rasulullah Sebelum Diutus Menjadi Rasul
b. Keterikatan Rasulullah Setelah Diangkat  Menjadi Rasul
6. Terdapat dua macam pengelompokkan Syar’u Man Qablana, Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
7. Jelas bahwa terjadi perbedaan pendapat antara para ulama mengenai ketetapannya bagi syariat kita. Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang sesuai dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi. Semoga kita dalam menyoroti dalil yang masih diperselisihkan ini juga berpandangan secara objektif tidak subjektif, segala ilmu berumber dari Allah, dan yang paling mengetahui akan kebenarannyapun hanya Allah. Bila dalil Syar’u man Qoblana mendatangkan manfaat dan kebaikan niscaya tidak ada salahnya kita mempergunakannya dan mengamalkanannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah serta apa-apa yang dibawa Rasulullah SAW. Wallahu A’lam Bi al-Shwab.


Catatan Kaki


[1] Dr. H. Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003) cet 4, hal. 239
[2] http://sriastuti069.wordpress.com/2009/10/17/syar’u-man-qablana/
[3] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
[4] Busriyanti, Ushul Fiqh, (Rejang Lebong – Bengkulu : LP2 STAIN Curup, 2010) cet 1, hal. 112
[5] Dr. H. Sidi Nazar Bakry, op,cit, hal. 239
[6] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, revisi. 3) hal. 112
[7] Ibid.
[8] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
[9] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, op,cit,  hal. 111
[11] http://www.scribd.com,op,cit.
[12] Sidi Nazar Bakry, op, cit, hal, 239
[13] Ibit, hal, 240
[14] Ibid, hal 241
[15] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih


Daftar Pustaka

Effendi, Satria. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana.2008)
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 2. (Jakarta: Kencana.2008)
Dr. H. Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Busriyanti, Ushul Fiqh, (Rejang Lebong – Bengkulu : LP2 STAIN Curup, 2010)
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, revisi. 3)


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

1 comment

11 Juli 2012 pukul 13.47

mksih atas infonya...

Posting Komentar

 

JAM GARUDA

Guestbook


Site Info

Rank Widget

Support : Eka Hidayatullah | Dunia Mahasiswa Indonesia | STAIN Jurai Siwo Metro
Copyright © 2011. DUNIA MAHASISWA INDONESIA - All Rights Reserved
Template Modify by Eka Hidayatullah
Proudly powered by Blogger